
(Foto: Pinterest)
Oleh Farida Indriastuti
Jari kaki mungil diremukkan, tersisa dua ibu jari. Lalu telapak kaki diikat erat-- hingga tak memberi kesempatan tulang kaki tumbuh dan aliran darah mengalir. Kaki bocah perempuan berumur 3-6 tahun dibubuhi ramuan tradisional agar tak membusuk. Betapa luar biasa perih dan sakitnya menjadi perempuan ningrat Tionghoa tempo dulu. Kaki mungil dianggap simbol kecantikan perempuan Tionghoa di zaman Sebelum Masehi (antara 1700-1027 SM). Namun sesungguhnya ketidakberdayaan perempuan dalam kungkungan patriarki-- demi meraih status sosial yang tinggi.
Dalam pandangan yang timpang, kaki mungil dianggap sebagai wujud kesetiaan perempuan. Sedangkan mata lelaki Tionghoa memandang nanar kaki mungil sebagai kejelitaan. Perempuan berkaki mungil dianggap becus mengurus suami dan tidak akan berselingkuh. Sebaliknya, lelaki beristri bebas berselingkuh dan memiliki istri lebih dari satu (poligami).

(Foto: Elite Readers)
Jejak nestapa dua pasang sepatu mini (Bounded Feet) bernama “Golden Lotus” sepanjang 3 inci itu menjadi saksi bisu penderitaan perempuan Tionghoa. Dapat disaksikan di Museum Benteng Heritage, Tangerang. Pengunjung menduga sepatu mini itu bekas pakai bocah perempuan kecil. “Tradisi mengikat kaki terjadi di awal Dinasti Shang, dilakukan oleh perempuan dari kalangan elit dan kaya di Cina. Kisah sepatu mini pernah terjadi di Tangerang, perempuan yang menikah dengan lelaki elit Cina, “ujar Desi, guide di Museum Benteng Heritage.
Versi lain sejarah Tiongkok, pengikatan kaki dimulai era pemerintahan Li Yu pada 961 - 975. Konon, Li Yu tergoda dan jatuh hati pada seorang penari jelita. Lalu dia coba mengikat kakinya, meniru lengkungan kaki penari saat menari Lotus dengan gemulai. Dalam perkembangannya, mengikat kaki kian populer di kalangan perempuan Tionghoa. Tradisi mengikat kaki terus berlangsung hingga 1912 di Tiongkok, setelah Dinasti Qing digulingkan. Pada 1915, tradisi mengikat kaki berhenti dan pemerintah Tiongkok membuat peraturan dengan mendenda bagi yang masih melakukannya.
Catatan trc-leiden.nl, menyebutkan praktik mengikat kaki berasal dari penari istana pada awal Dinasti Song, pada 960-1279. Entah versi mana yang paling benar? Catatan tertulis yang dianggap paling relevan berasal dari abad 13, yang merujuk pada ketenaran gadis penari dengan kaki mungilnya dan sepatu kecilnya di Istana Dinasti Tang Selatan pada 937-975 di Tiongkok tengah-selatan. Selama berabad-abad pengikatan kaki dipraktikkan oleh banyak keluarga elit dan kemudian meluas di antara semua tingkatan sosial.
“Nenek dari papa saya juga kakinya begitu. Nenek saya meninggal tahun 1985. Usianya ketika itu 80an. Jadi semasa SMA saya sering lihat nenek buka sepatu mini (golden lotus). Nenek datang dari Cina di tahun 1930an ke Indonesia, “ungkap Sastra Wijaya, jurnalis ABC News yang menetap di Australia.
Mungilnya kaki perempuan Tionghoa saat itu-- tentu menghambat ruang gerak perempuan di lingkungan domestik. Itu sebabnya, perempuan yang kakinya mungil-- termasuk nenek Sastra Wijaya membeli beberapa anak. “Bapak saya termasuk salah satu yang dibeli oleh keluarga nenek saya waktu itu, nenek sudah memiliki beberapa anak. Papa saya dibeli di Kuala Lumpur bersama tiga anak lain, jadi keluarga nenek saya anaknya jadi delapan orang, “imbuh Sastra.
Saat menelusuri Jalan Cilame, Tangerang, bangunan tua dikenal sebagai “Museum Benteng Heritage” tampak berdiri megah-- di tengah riuhnya transaksi jual-beli di dalam Pasar Lama. Bangunan berarsitektur tradisional Tionghoa yang direstorasi pada 2009 itu diperkirakan dibangun pada pertengahan abad 17, merupakan bangunan tertua di kota Tangerang. Pemilik museum adalah seorang pengusaha Tionghoa Indonesia, bernama Udaya Halim yang menetap di Australia. Museum Benteng Heritage yang bersejarah itu bukan milik dan dikelola pemerintah.
Banyak artefak kuno nan unik dapat dilihat disini seperti patung epik cerita Sam Kok hingga Da Chin buatan abad 19. Da Chin atau alat penghisap opium (candu) biasa digunakan di Tiongkok, Jepang, dan Korea, juga digunakan Suku Mhong dan Miao di Burma. Orang Jawa sudah mengenal candu sejak berabad lalu, setidaknya pada abad 17, ketika kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli.

Buku “Opium To Java” karya James R. Rush, menuliskan kebiasaan orang Jawa pada candu. Pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen pada 1882, menyatakan satu dari 20 orang Jawa menghisap candu. Opium (papaver somniferum) tidak tumbuh di Jawa, tapi tumbuh subur didataran sub-tropis. Vereenigde Ost Indische Companie (VOC) pada 1677 mendapatkan perjanjian dengan Raja Jawa, Amangkurat II untuk memasukkan candu ke Mataram dan memonopoli perdagangan candu. Sejak 1619-1799, VOC berhasil memasukkan 56 ribu kilogram opium mentah setiap tahunnya ke Jawa, dan pada 1820 tercatat ada 372 pemegang lisensi untuk menjual opium.
Selain itu, di museum juga dapat dijumpai karya-karya sastra Tiongkok yang diterjemahkan oleh Penyadur Oey Kim Ting, 91 tahun seperti karya sastra Sie Djin Koei, Sia Tiaw Eng Hiong dan karya lainnya. Begitu pun sejarah mendaratnya bangsa Tiongkok di Tangerang. Konon, armada kapal dibawah Tjen Tjie Lung (Halung) membawa rombongan sekitar 300 kapal jung besar dan kecil-- membawa hampir 30 ribu pengikut dan mendarat di Teluk Naga (Tangerang) pada 1407. Tjen Tje Lung pun diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang (Cina Benteng).
“Saya tidak berani mengatakan armada kapal Tjen Tjie Lung yang mendarat di Teluk Naga itu merupakan rombongan (anak buah) Laksamana Cheng Ho, tidak ada data dan bukti sejarah yang otentik, “ujar Oey Tjin Eng, pustakawan Kelenteng Boen Tek Bio.
Kelenteng Tua Boen Tek Bio
Di penghujung sore. Sekitar 100 meter dipersimpangan Jalan Cilame dan Jalan Bhakti, Kelenteng Boen Tek Bio berdiri kokoh. Keberadaan Boen Tek Bio tak lepas dari kisah pendaratan Tjen Tjie Lung di Teluk Naga. Tepatnya di Muara Sungai Cisadane pada 1407. Meski kedatangan orang Tionghoa pertama kali ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Tapi Serat Sejarah Sunda berjudul “Tina Layang Parahyangan” mencatat pendaratan pertama rombongan armada Tjen Tjie Lung. Saat itu pusat kota Tangerang dibawah pemerintahan Sanghyang Anggalarang, selaku wakil dari Kerajaan Padjajaran.
Dari pintu gerbang. Bau asap hio dibakar menyusup hingga menembus rongga hidung, sedikit menyengat. Beberapa umat melakukan ritual pemujaan (sembahyang) di sore hari. Di halaman depan terdapat Thian Shin Lou atau Thian Gong Lou, merupakan tempat menancapkan hio untuk Tuhan Yang Maha Esa. Tempat menancapkan hio itu disumbang oleh Oei Goat Hoa pada abad 18-- periode Kong Ki Hai sekitar 1839.

(Foto: TravelPromo)
Kelenteng Boen Tek Bio merupakan bangunan tua berarsitektur tradisional Tionghoa yang didirikan pada 1684. Sebelumnya Kelenteng Boen Tek Bio pada 1844 masih berupa rumah, belum direnovasi menjadi bangunan megah. Pemugaran besar-besaran dilakukan pada tahun Naga (Liong). Pekerja dan para ahli bangunan khusus didatangkan dari negeri Tiongkok-- sehingga Ceng Sin dan Kimsin yang dipuja Dewi Kwan Im Hud Chow, serta kimsin Kongco Kha Lam Ya, kimsin Kongco Hok Tek Ceng Sin dan komsin Kongco Kwan Seng Tee Kun dititipkan sementara di Kelenteng Boen San Bio, yang jaraknya tak begitu jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio.
“Tiga tahun lalu (2012) ramai perayaaan arak-arakan Gotong Toapekong, yang diperingati 12 tahun sekali, “seru Desi. Kelenteng Boen Tek Bio memang memiliki prosesi Dewi Kwan Im Hud Cow setiap 12 tahun sekali atau dikenal dengan Gotong Toapekong, perayaan yang jatuh pada hitungan ke 14. Masyarakat Tionghoa Tangerang mempercayai keajaiban Dewi Kwan Im Hud Cow sebagai pelindung dan bisa memberikan berkah. Seperti peristiwa 1883, saat gunung Krakatau meletus hingga terjadi banjir di kota Tangerang. Namun Kelenteng Boen Tek Bio tidak mengalami kebanjiran.
Cerita-cerita keajaiban lainnya yang tak kalah seru. Pada pertengahan tahun 1887, ditengah malam sungai Cisadane meluap-- membanjiri kota Bogor dan Tangerang, banyak hewan ternak mati dan penduduk tak berdaya melihat harta bendanya hanyut terbawa arus air. Anehnya, air mengalir ke sisi kiri dan kanan dari Kelenteng Boen Tek Bio-- sehingga halaman depan dan belakang Kelenteng tidak tergenang air. Penduduk Tangerang pun banyak berlindung di Kelenteng Boen Tek Bio dan semakin mempercayai Dewi Kwan Im Hud Couw sebagai pelindung.
Pada tahun yang sama, 1887. Tiongkok juga mengalami banjir sungai Huang He (sungai kuning) yang menewaskan jutaan orang, sungai sepanjang (5.465 km) 3.395 mil yang meliuk dari pegunungan Bayan Har, menyapu ke arah timur dan membawa 1,6 milyar material lumpur dari daratan Loess ke lembah daratan Tiongkok bagian utara. Luapan sungai Huang He telah menghancurkan 300 desa, 11 kota dan jutaan orang tewas, menurut laman divastatingdisasters.com.
Cerita lainnya di Tangerang, ketika 1942, saat Jepang masuk ke kota Tangerang dan menjatuhkan dua bom mortir. Satu bom jatuh diatas wuwungan Kelenteng Boen Tek Bio dan satu bom lagi jatuh ditembok belakang Kelenteng, tapi kedua bom itu tidak meledak. Bahkan masih banyak cerita-cerita tentang Kelenteng Boen Tek Bio yang dipercayai masyarakat Tionghoa Tangerang.
Legitnya Kuliner Di Petak Sembilan
Kedatangan bangsa Tiongkok ke Tangerang menandai proses akulturasi dengan masyarakat lokal. Sejak kapal rombongan Tjen Tjie Lung terdampar di Teluk Naga pada 1407 silam, karena kerusakan dan kehabisan perbekalan. Tak ayal, sembilan gadis Tionghoa pun dipersunting para prajurit Sanghyang Anggalarang dengan kompensasi sebidang tanah. Sedangkan para lelaki Tionghoa menikahi perempuan-perempuan lokal. Jadilah dikenal dengan istilah “Peranakan Tionghoa” dan terus berkembang memperluas lahan-lahan baru di Desa Pangkalan di sekitar Teluk Naga, dikawasan itu mereka mengaku sebagai Tang Lang atau Tang Ren (orang Dinasti Tang).
Sejak itu penduduk Tionghoa tumbuh pesat-- mencari lahan-lahan baru. Dari jalur sungai hingga daerah lainnya seperti Pasar Lama, Pasar Baru hingga Serpong. Keberadaan penduduk Tionghoa terbukti dengan berdirinya Kelenteng Tua; Boen Tek Bio, Boen San Bio dan Boen Hay Bio. Orang-orang Tionghoa Tangerang bertambah-- tatkala pembantaian etnis Tionghoa terjadi di Batavia dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dibawah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada 1740. Mereka melarikan diri ke Tangerang, Bekasi, Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren, Pondok Pinang, bahkan hingga Jawa Tengah dan Jawa Timur.

(Foto: Pexels)
Tradisi kuliner peranakan Tionghoa pun menjadi ciri khas kawasan Pecinan Tangerang. Salah satunya pembuatan kecap Benteng cap “Teng Giok Seng” industri rumahan yang didirikan oleh Teng Hay Seng sejak 1882. Kecap terbuat dari bahan baku campuran kedelai hitam pilihan, gula merah dan garam, yang menyebabkan warna kecap manis menjadi hitam kecoklatan begitu pekat dan hitam legam. Pengolahannya masih menggunakan cara-cara manual atau tradisional-- dimasak menggunakan wajan besar diatas tungku dan diaduk oleh empat lelaki secara bergantian dengan serok kayu besar.
Kini, usaha kecap Teng Giok Seng dikelola oleh Setiyadi alias Tek Kiam yang merupakan generasi ke 4. Dikelola oleh satu garis keturunan. Setiyadi membuat kecap dibantu 11 orang pekerjanya, dari memasak bahan baku hingga pengemasan. “Mereka bekerja mengolah kecap sudah 40 tahun. Dari saya masih kecil. Biasanya bekerja dari jam 08.00 sampai jam 13.00, “ujar Setiyadi. Usaha kecap legendaris Tek Giok Seng itu hanya mampu memproduksi 200-300 botol per hari, tergantung kemampuan atau pesanan. “Maklumlah, sekarang tidak seperti dulu. Sekarang banyak kecap produksi pabrik, yang produksi rumahan banyak bangkrut. Paling kita jualnya di Jakarta dan Tangerang sekitar sini, “ujar Setiyadi.

(Foto: Dokter Sehat)
Sebelumnya di Cina Benteng ada delapan industri kecap. Kini semakin menyusut menjadi tiga usaha kecap yang tersisa, yakni kecap cap Tek Giok Seng, kecap cap Siong Hin dan kecap cap Topi. Usaha kecap Benteng cap “Siong Hin” didirikan pada tahun 1920. Pabrik-pabrik kecap pun lokasinya berdekatan di kawasan Pecinan, bahkan pabrik kecil pengolahan kecap cap Tek Giok Seng dekat dengan Museum Benteng Heritage dan Kelenteng Boen Tek Bio yang didepannya dikenal dengan nama “Petak Sembilan”.
Di kawasan Pasar Lama itu, selain riuh oleh aktivitas pedagang pasar-- juga surga kuliner unik, mampir saja ke warung Bakmi Pasar Lama. Aneka masakan peranakan Tionghoa hingga menu daging kodok dapat ditemui, seperti; kodok goreng mentega, kodok rica-rica, kodok masak kecap, kodok goreng tepung, kodok saus padang, kodok saus tiram, kodok cah sayur asin, kodok tauco dan kodok tahu tausi. Harganya pun standar berkisar antara 15 ribu hingga 35 ribu. Jajanan tradisional peranakan Tionghoa pun menyemarakkan sore hari di kawasan Petak Sembilan dari asinan, laksa nyonya, tauge goreng, bir plethok, pindang bandeng hingga sayur besan. Nikmati juga es shanghai yang ada sejak 1980 di Warung Es Buntin, segarnya menggoda lidah, juga baso tahu yang ukurannya cukup besar dan panganan lainnya.
Sayang Petak Sembilan tidak ditata sebagai kawasan Cagar Budaya atau Heritage-- agar bangunan berarsitektur Tionghoa tetap terjaga. “Mana dulu pemerintah Tangerang bilang akan merestorasi bangunan tua disini? Sampai sekarang tidak terbukti, “gerutu Setiyadi. Pada 1950an, terdapat bioskop legendaris Tjin Ching di kawasan itu dan sekarang nyaris tanpa jejak. Bila menjelajah kampung Pecinan masih banyak rumah yang kental berarsitektur Tionghoa-- meski tembok terlihat kusam dengan atap jebol. Berbeda dengan bangunan yang menghadap jalan raya seperti toko obat “Ban An Tong” yang berdiri sejak 1908, masih kokoh dan sangat terawat.
NB. Arsip 2015 dan diperbarui datanya pada 2020.